Persahabatan di Balik Musibah Erupsi Merapi 2010

Oleh: Dianifa Zikra Amelia

Saya adalah salah satu dari sekian banyak murid di Sekolah Dasar Islam Terpadu {SDIT} Baitussalam 2 Cangkringan kabupaten Sleman. Sekolahku termasuk sekolah swasta. Saya duduk di bangku kelas V. Kelasku terdiri dari 18 murid, 5 putra dan 13 putri.

Di sekolah inilah saya dan teman-teman menuntut ilmu agar dapat meraih cita-cita. Di sekolah ini pula ustadz dan ustadzah mendidik kami agar mampu bersaing dengan sekolah-sekolah lain.

Walau sekolah kami hanya sederhana, tetapi kami tetap belajar dengan tekun supaya dapat mengharumkan nama baik sekolah. Kami pun selalu berdoa agar sekolah kami mampu berkompetisi.

Sekolah kami dekat dengan Gunung Merapi. Gunung teraktif di dunia ini pada tahun 2010 lalu meletus sangat dahsyat. Teman-teman kami pun banyak yang kehilangan rumah, barang–barang berharga, dan buku-buku. Teman kami ada yang meninggal dunia. Kami sangat berduka.

Teman kami ada yang pindah sekolah. Mereka takut sebab sekolah kami memang sangat dekat dengan lokasi yang terkena awan panas. Walaupun demikian, semangat dan tekad kami tidak boleh berkurang. Kami harus tetap semangat. Kami bertekad untuk tetap selalu belajar, belajar, dan belajar. Karena itulah kami harus bersatu padu dan mengembangkan persahabatan.

Di sekolah, kami bisa berkenalan dengan banyak teman. Kami menjadi akrab seperti saudara sendiri karena bertemu setiap hari. Kami juga akrab dengan adik-adik kelas dan para ustadz–ustadzah.

Sekolah kami berada di tengah–tengah pemukiman warga masyarakat. Oleh karena itu, setiap kali ada acara di sekolah, kami selalu mengundang mereka. Kami sangat akrab, bahkan kami bersahabat erat dengan anak–anak mereka.

Hanya saja setelah Merapi meletus, kami harus mengungsi ke sekolah lain. Aku dan sebagian teman-temanku ikut belajar di sekolah Pondok Pesantren Baitussalam Prambanan. Teman-teman kami menyebar ke mana-mana. Ada yang bersekolah di SDIT-SDIT dan ada juga yang di SD-SD Negeri.

Alhamdulillah, kami yang mengungsi bisa berteman baik dengan murid-murid SD tempat kami mengungsi. Kami bisa saling menghargai. Pada jam-jam istirahat kami selalu bermain bersama. Kami punya prinsip, kita ini adalah orang muslim.

Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa, semua muslim itu adalah bersaudara, maka kita harus saling membantu dan menghargai satu sama lain. Bahkan, kita juga harus bersaudara dengan semua orang walaupun mereka berbeda keyakinan dengan kita.

Saat di SDIT Baitussalam Prambanan, kami bersekolah di masjid. Alhamdulillah, kami tetap dapat belajar dengan tenang. Di sana kami dapat berbaur dengan murid-murid dan ustadz-ustadzah sekolah setempat.

Kami diperbolehkan memakai fasilitas yang ada. Kami dapat memakai fasilitas kantin, perpustakaan, koperasi dan lain sebagainya. Kami ucapkan terimakasih kepada mereka semua yang telah menerima kami dengan senang hati.

Memang saat Merapi meletus kami sangat ketakutan. Kami melihat awan dan gumpalan–gumpalan awan panas dari arah utara. Tepatnya di puncak gunung Merapi. Di antara kami pun ada yang menangis karena takut rumahnya di Cangkringan terkena awan panas.

Sekolah kami di Cangkringan hanya berjarak 12 km dari puncak Merapi, bahkan teman kami banyak yang rumahnya di bawah radius 10 km. Teman-teman kami ada yang rumahnya di Kaliadem dan Kinahrejo. Jaraknya hanya 4 km dari puncak Merapi.

Sekarang ini rumah-rumah mereka sudah terkubur oleh lahar panas Merapi. Alhamdulillah rumahku yang berada di radius 12 km dari puncak Merapi selamat. Hanya saja, kampung di sebelah rumahku yang dekat dengan sungai Gendol sudah tiada karena terkena awan panas dan lahar panas.

Sekarang ini yang kami khawatirkan adalah banjir lahar dingin. Walaupun namanya lahar dingin, tetapi air dan pasirnya panas sekali. Lahar dingin dapat membuat badan melepuh. Rumah pun dapat hanyut. Semoga saja rumah kami tidak terkena banjir lahar dingin itu.

Oh ya, setelah letusan gunung Merapi mereda, sekolah kami di Cangkringan dijadikan sebagai barak pengungsian. Saya pun menjadi punya banyak teman. Kami bertemu saat mereka mengungsi di sekolah kami itu.

Ada yang dikenalkan oleh teman satu sekolah dan ada juga yang dikenalkan oleh teman satu kampung. Saat kami bermain, hati kami terasa sangat gembira. Kami bersyukur karena dapat dipertemukan dengan banyak sahabat. Kami pun bersatu dalam suka dan duka.

Mereka yang mengungsi di sekolah kami sebelumnya mengungsi di stadion Maguwoharjo kabupaten Sleman. Setelah gunung Merapi aman, sebagian dari mereka ada yang pulang ke rumahnya, tetapi ada juga yang masih harus masuk ke barak pengungsian karena rumahnya telah hancur.

Setelah pindah dari SDIT Baitussalam Prambanan, kami kemudian bersekolah di gedung Pondok Pesantren Kedung, Wukirsari, Cangkringan karena sekolah kami dipakai sebagai tempat pengungsian. Di sana kami juga memiliki banyak teman, sehingga kami dan mereka tidak kesepian.

Setelah kami kembali dan bersekolah lagi di sekolah kami sendiri, kami pun bertemu dengan sahabat–sahabat lama kami. Kami bisa bermain bersama-sama lagi. Kami bisa bermain dengan anak-anak TK dan BATITA.

Ya Allah, semoga tidak ada lagi bencana yang menimpa kami, sehingga kami bisa selalu bersama-sama dengan teman dan sahabat terbaik kami. Semoga perjumpaan, pertemanan, dan persahabatan kami ini menjadi abadi. Kami bisa bermain catur, lompat tali, dan gobak sodor.

Yang penting bagi kami adalah gembira. Walaupun ada teman kami yang agak nakal, tetapi kami tetap selalu rukun. Jika ada yang senang, kami pun ikut senang. Bila ada yang sedih, kami juga ikut sedih. Itulah arti persahabatan yang sesungguhnya dan insya Allah akan abadi.


Dianifa Zikra Amelia
SDIT Baitussalam 2 Cangkringan
Sleman, DI Yogyakarta

0 comments:

Posting Komentar

 
Designed by: Newwpthemes.com | Bloggerized by Dhampire