Nasab Anak: Antara Ayah Kandung dan Ayah Angkat

Oleh: Eko Mardiono

A.  Pendahuluan
Di kalangan masyarakat, banyak terjadi pencatatan data kependudukan yang tidak sesuai dengan realitas yang sebenarnya. Hal ini menjadi persoalan ketika pihak yang bersangkutan akan mencatatkan peristiwa hukumnya.

Misalnya, mereka akan mencatatkan peristiwa perkawinan, baik di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan ataupun di Kantor Catatan Sipil Kabupaten/Kota.
 
 
Salah satu ketidaksesuaian data kependudukan tersebut adalah tentang pencatatan nasab seorang anak. Banyak terjadi, anak orang lain atau anak lahir di luar perkawinan dicatatkan sebagai anak kandung.

Masalah penasaban seorang anak ini jika diklasifikasi ada dua macam persoalan. Pertama, anak orang lain yang dicatatkan sebagai anak kandung. Kedua, anak angkat yang sah menurut hukum, tetapi selalu dirahasiakan, sehingga anak yang bersangkutan tidak mengetahuinya.


Akibatnya, semua urusan keperdataannya dilakukan atas dasar data-data formal tersebut, termasuk dalam persoalan pencatatan pelaksanaan akad nikah.
 

Selama ini, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) berbeda-beda dalam menyikapinya. Paling tidak ada tiga model kebijakan yang ditempuh oleh PPN, yaitu: 

Pertama: PPN sama sekali tidak mempertimbangkan data-data kependudukan yang telah ada. Pernikahan dilaksanakan dan dicatat atas dasar realita yang sebenarnya.

Dalam hal ini, PPN hanya meminta agar data-data di formulir-formulir nikah/rujuk dibetulkan sesuai dengan kenyataan yang sebenarnya. Data-data yang ada di Model N1, N2, N3, N4, N5, N6, dan N7 serta Model R1 yang dibuat oleh Pemerintah Desa/Kelurahan supaya dibetulkan.

Solusi semacam ini jelas masih menyisakan persoalan, yaitu timbulnya ketidakcocokan antardata kependudukan bagi anak yang bersangkutan. Kelak di kemudian hari, hal itu pasti menimbulkan persoalan.

Kedua: PPN mempertimbangkan sekaligus mencatat suatu peristiwa nikah/rujuk berdasarkan data-data kependudukan yang ada. Semuanya dicatat sesuai dengan data formal tersebut, termasuk data tentang wali nikah yang berhak.

Hanya saja, akad nikah/rujuknya dilaksanakan berdasarkan realita yang sebenarnya. Kebijakan ini mengakibatkan timbulnya perbedaan antara akta dan realita.

Solusi seperti inipun juga menyisakan persoalan, bahwa pencatatan nikah/rujuknya secara yuridis dapat dibatalkan. 

Ketiga: PPN memang “menasabkan” anak sesuai dengan data formal kependudukan yang telah ada. Namun, dalam menetapkan wali nikahnya, PPN menentukan sekaligus mencatatnya berdasarkan data riil yang sebenarnya.

Kebijakan ini bisa mengakibatkan bahwa orangtua sebagai “ayah nasab” berbeda dengan orangtua sebagai “ayah wali nikah”. Solusi ini juga mempunyai implikasi hukum yang cukup serius.

Jika kebetulan wali nikahnya adalah wali hakim, maka timbul pertanyaan bukankah secara yuridis formal calon pengantin perempuan tersebut mempunyai “ayah kandung” yang memenuhi syarat sebagai wali nikah (Islam, baligh, dan berakal) sebagaimana tertulis dalam data-data kependudukannya?

Kalaupun seandainya wali nikahnya adalah wali nasab, hal itu juga menimbulkan pertanyaan, bukankah dengan demikian anak perempuan tersebut mempunyai dua “ayah kandung”?

Satu “ayah kandung” sebagaimana tertulis dalam data “binti”-nya, dan satu “ayah kandung” lagi sebagaimana tertera dalam data “wali nikah”-nya.
 

Oleh karena itu, sangatlah urgen dan mendesak untuk mencari dan merumuskan kembali solusi yang komprehensif terhadap persoalan tersebut.

Pertanyaannya sekarang adalah: “Bagaimana solusinya agar data-data kependudukan yang telah ada dapat selaras dengan ketentuan hukum Islam dalam pencatatan perkawinan?
 

Solusi yang akan dirumuskan ini tentunya harus mampu mengakomodasi dinamika masyarakat, karena suatu ketentuan hukum akan berlaku efektif bila ia sesuai dengan dinamika, nilai-nilai, dan falsafah yang hidup di tengah-tengah masyarakat.

Padahal praktik mengangkat anak di kalangan masyarakat Indonesia adalah sesuatu yang sudah biasa terjadi, bahkan telah membudaya di muka bumi, baik sebelum atau sesudah Islam.

B. Pengertian dan Klasifikasi Anak
Sebelum merumuskan solusi yang komprehensif, perlulah kiranya terlebih dahulu mengemukakan tentang pengertian anak, klasifikasi anak menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, praktik dan anggapan masyarakat, serta pandangan hukum Islam.
 

Menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, anak sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. KUH Perdata juga menyatakan, bahwa anak sah (wettig kind) ialah anak yang dianggap lahir dari perkawinan yang sah antara ayah dan ibunya.

Memang, kepastian seorang anak sebagai anak ayahnya tentunya sangatlah sulit dipastikan secara mutlak. Oleh karena itu, peraturan perundang-undangan di Indonesia menetapkan tenggang maksimal masa kehamilan, yaitu 300 hari (10 bulan) dan tenggang minimal, yakni 180 hari (6 bulan).
 

Jika seorang anak dilahirkan sebelum lewat 180 hari (6 bulan) usia perkawinan kedua orangtuanya, maka ayahnya berhak mengingkari keabsahan anak tersebut, kecuali jika ia sudah mengetahui bahwa istrinya hamil sebelum pernikahan dilangsungkan atau jika ia hadir pada saat pembuatan akta kelahiran dan ikut menandatanganinya.

Adapun anak yang dilahirkan 300 hari setelah perceraian kedua orangtuanya, maka ia dihukumi sebagai anak tidak sah.
 

Dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia terdapat beberapa macam anak, yaitu: (1) anak kandung, (2) anak pengakuan/pengesahan, (3) anak angkat, dan (4) anak asuh.
 

Perihal anak kandung adalah sebagaimana telah dijelaskan di depan. Mengenai anak pengakuan/pengesahan anak dapat dikemukakan hal-hal sebagai berikut. Anak yang lahir di luar perkawinan (natuurlijk kind) dapat diakui sebagai anak oleh ayah dan ibunya.

Pengakuan anak (erkening) tersebut dapat ditindaklanjuti dengan pengesahan anak (wettiging) tatkala kedua orangtuanya melangsungkan dan mencatatkan perkawinannya di Kantor Catatan Sipil.

Apabila saat itu belum juga dilakukan, maka pengesahannya dapat dilaksanakan dengan melengkapi “surat-surat pengesahan” (brieven van wettiging).

Pengesahannya harus dilakukan di muka Pegawai Pencatatan Sipil dalam bentuk akta kelahiran anak, akta perkawinan orangtuanya, akta tersendiri, atau dalam bentuk akta notaris.

Hanya saja, pengakuan tersebut tidak diperbolehkan terhadap anak-anak yang dilahirkan akibat zina (overspel) atau yang dilahirkan dari hubungan antara dua orang yang dilarang kawin.
 

Anak angkat adalah anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan penetapan pengadilan. 

Pengangkatan anak hanya dapat dilakukan untuk kepentingan yang terbaik bagi anak dan dilakukan berdasarkan adat kebiasaan setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. 

Pengangkatan anak tersebut tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua kandungnya. Orangtua angkatnya pun wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orangtua kandungnya.

Pemberitahuan asal-usulnya dan orangtua kandungnya tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan. Yaitu, kesiapan secara psikologis dan psikososial. Kesiapan tersebut biasanya dicapai tatkala anak sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.

Adapun anak asuh adalah anak yang diasuh oleh seseorang atau lembaga, untuk diberi bimbingan, pemeliharaan, perawatan, pendidikan, dan kesehatan, karena orangtuanya atau salah satu orangtuanya tidak mampu menjamin tumbuh kembang anak secara wajar, baik fisik, mental, spiritual, maupun sosial.


Nah, berdasarkan deskripsi tentang pengertian dan klasifikasi anak sebagaimana dipaparkan di atas, maka tampak jelas bahwa “anak sah” menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia ada beberapa kategori.


Semua kategori itu pun diakui oleh negara dengan akta otentik yang dikeluarkan oleh instansi atau lembaga yang berwenang.

Oleh karena itu, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) tidak dapat begitu saja menafikan data-data tersebut. Walaupun, secara lahiriah data-data itu kemungkinan berbeda dengan ketentuan hukum Islam. 

Contohnya adalah tentang pengakuan/pengesahan anak di luar nikah sebagai anak sah dan anak angkat yang tidak dijelaskan kepada pihak yang bersangkutan.
 

Lantas, bagaimana solusinya? Apakah dengan demikian solusinya akan mengorbankan ketentuan syariat Islam, kemudian “memenangkan” hukum perdata Indonesia?

Menurut hemat saya, Pegawai Pencatat Nikah (PPN) memang tidak bisa menafikan begitu saja data-data otentik yang ada. Karena, data-data itu dibuat “berdasarkan” hukum formil dan materiil yang berlaku di Indonesia.


Apalagi, praktik pengakuan, pengesahan, dan pengangkatan anak sudah begitu melembaga di kalangan masyarakat Indonesia, sebagaimana terlihat dari hasil penelitian yang dilakukan oleh B. Ter Haar Bzn.

Dengan demikian, solusi yang dapat ditempuh PPN adalah mensinkronkan semua data kependudukan yang dibuat oleh instansi terkait dengan data-data nikah/rujuk tanpa harus mengorbankan salah satunya dan juga tanpa adanya rekayasa.

C. Sinkronisasi Data Kependudukan dengan Data Nikah/Rujuk
PPN memang tidak dapat begitu saja menafikan data-data tentang keabsahan seorang anak yang telah dituangkan ke dalam suatu akta otentik.


Menurut hemat saya, yang dapat dilakukan PPN hanyalah mempertegasnya, apakah ia anak kandung, anak pengakuan/pengesahan, ataukah anak angkat.

Selama ini kutipan-kutipan akta otentik, termasuk akta kelahiran, tidak secara eksplisit mencantumkan riwayat dan asal-usul anak yang bersangkutan.
 

Apakah dengan demikian, lantas PPN harus mengusulkan agar akta-akta otentik yang dikeluarkan Kantor Catatan Sipil atau Lembaga Peradilan diubah formatnya? Saya tidak mengusulkan demikian. Usulan semacam itu terlalu jauh dan di luar kewenangan dan kendali kita.

Saya berpendapat, kita perlu mengusulkan ke Kementerian Agama agar memformat ulang formulir-formulir nikah/rujuk. Inilah yang menjadi wewenang dan kompetensi kita, terutama bagi yang berpredikat Penghulu Madya.

Yang pertama kali diformat ulang adalah formulir nikah/rujuk Model N2 (Surat Keterangan tentang Asal-Usul) dan Model N4 (Surat Keterangan tentang Orangtua). Baru kemudian formulir-formulir nikah/rujuk lainnya.


Selama ini, format Model N2 dan N4 secara substantif sebenarnya tidaklah berbeda. Hanya susunannya yang dibalik. Keduanya sama-sama menerangkan tentang anak kandung dan orangtua kandung.

Sebetulnya Model N2 dan N4 ini dapat dijadikan sebagai kunci problem solving dalam masalah ini.
Model N2 digunakan untuk melacak dan menerangkan tentang asal-usul anak yang bersangkutan, bahwa siapa sebenarnya ayah-ibu kandungnya.


Data-data yang tertulis di dalam Model N2 itulah yang nantinya dijadikan sebagai dasar dalam penentuan wali nikah yang berhak. Sedangkan Model N4 dipakai untuk menerangkan tentang orang tua seorang anak (calon pengantin).

Orang tua yang ditulis dalam Model N4 inipun bisa meliputi orang tua kandung, orang tua pengakuan/pengesahan, atau orang tua angkat, sebagaimana klasifikasi anak/orang tua yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan.

Jika orang tua kandung, maka mereka pun berhak untuk menjadi wali nikah. Sebaliknya, bila bukan orang tua kandung, maka mereka tidak berhak untuk menjadi wali nikah.
 

Solusi ini jelas akan mampu mengakomodasi semua kepentingan. Satu sisi, data-data tentang orang tua bisa sesuai dengan data-data kependudukan lainnya. Ia terakomodasi dalam Model N4. Di lain sisi, tuntutan syariah tentang penasaban seorang anak juga bisa terpenuhi tanpa harus ada rekayasa. 

Hal itu pun terakomodasi dalam Model N2. Kemudian untuk merealisasi solusi komprehensif ini, istilah “bin” atau “binti” dalam semua data tentang anak yang ada di formulir-formulir nikah/rujuk harus diganti dengan istilah “anak kandung/pengesahan/angkat”, dengan pilihan coret yang tidak sesuai.

Pencantuman istilah-istilahtersebut bertujuan untuk mengakomodasi ketiga kategori anak, yakni anak kandung, anak pengakuan/pengesahan, atau anak angkat. Tinggal mencoret mana yang tidak sesuai.
 

Memang, solusi yang ditawarkan ini bisa membawa dampak psikologis dan psikososial bagi anak yang bersangkutan, terutama bagi yang bukan anak kandung.

Walaupun demikian, pembukaan tabir ini harus tetap dilakukan. Ia tidak boleh dirahasiakan. Islam dengan tegas melarang merahasiakannya. Undang-undang Perlindungan Anak pun juga demikian. 

Pasal 40 ayat (1) dan (2) Undang-undang ini menegaskan bahwa orangtua angkat wajib memberitahukan kepada anak angkatnya mengenai asal-usulnya dan orangtua kandungnya dengan mempertimbangkan kesiapan anak yang bersangkutan.

Kesiapan itu meliputi kesiapan psikologis dan psikososial, yang biasanya dicapai oleh anak ketika ia sudah mendekati usia 18 (delapan belas) tahun.

Ajaran Islam secara gamblang melarang merahasiakan asal-usul seorang anak. Allah SWT menegaskan:


وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءكُمْ أَبْنَاءكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُم بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ ﴿٤﴾
Artinya: “dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri); yang demikian itu hanyalah perkataan di mulutmu saja; dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).” (Q.S. al-Ahzab (33): 4)

Selanjutnya Allah SWT menyatakan:


ادْعُوهُمْ لِآبَائِهِمْ هُوَ أَقْسَطُ عِندَ اللَّهِ فَإِن لَّمْ تَعْلَمُوا آبَاءهُمْ فَإِخْوَانُكُمْ فِي الدِّينِ وَمَوَالِيكُمْ وَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيمَا أَخْطَأْتُم بِهِ وَلَكِن مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوبُكُمْ وَكَانَ اللَّهُ غَفُوراً رَّحِيماً ﴿٥﴾
 

Artinya: “Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggillah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu; dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) adalah apa yang disengaja oleh hatimu; dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (Q.S. al-Ahzab (33): 5)

Rasulullah saw pun bersabda:
ليس من رجل ادّعى الى غير أبيه وهو يعلم الاّ كفر (رواه البخاري)
Artinya: “Tidak seorangpun yang menasabkan kepada bukan ayah yang sebenarnya padahal ia mengetahui melainkan ia telah kufur.” (HR Bukhari dari Abi Dzar).

Beliau juga bersabda:
من ادعي الى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام (رواه البخارى)
Artinya: “Barangsiapa yang menasabkan kepada bukan ayahnya padahal ia mengetahui bahwa ia bukan ayah kandungnya, maka surga haram baginya.” (HR Bukhari dari Sa’ad bin Abi Waqash)
 

Oleh karena itu, tiada alasan untuk tidak membuka tabir tentang asal-usul seorang anak dan mencatatkannya secara formal. Hanya saja, sekali lagi, PPN tidak bisa begitu saja menolak akta otentik-akta otentik tentang anak yang telah ada.

Akta otentik-akta otentik tersebut dilindungi oleh Undang-undang. Yang dapat dilakukan oleh PPN adalah menyingkronkannya semua data-data yang ada dengan cara menformat ulang formulir-formulir nikah/rujuk sebagaimana telah dipaparkan di depan.

Sebetulnya Hukum Islam di Indonesia sudah memberikan solusi yang sangat cantik. Yaitu, dengan ditawarkannya institusi hadhanah (pengasuhan anak) yang dikombinasikan dengan lembaga wasiat wajibah.


Satu sisi, seorang anak bisa tetap terjaga kejelasan nasabnya secara mutlak. Di lain sisi, ia juga bisa mendapatkan hak-hak keperdataannya. Anak pun bisa “mewarisi” harta kekayaan orangtua hadhanah-nya, yakni melalui wasiat wajibah, begitu juga sebaliknya.

Memang, hak kewarisannya maksimal hanya sepertiga (1/3) dari harta peninggalan, karena ia “mewarisinya” melalui institusi wasiat. Solusi hukum Islam di Indonesia ini sejatinya merupakan hasil pemaduan kreatif (sintesis) antara norma tekstual yang melarang adopsi anak dengan kenyataan empiris masyarakat.

Dengan demikian, sebenarnya tidak ada persoalan serius dengan banyak terjadinya praktik masyarakat Indonesia yang menempuh pengakuan/pengesahan anak ataupun pengangkatan anak, selama terjelaskan tentang asal-usul anak yang bersangkutan.


Memang, selama ini riwayat asal-usul seorang anak tidak dicantumkan dalam kutipan akta kelahirannya. Walaupun demikian, riwayat asal-usul anak itu telah tercatat dalam register akta kelahirannya. Oleh karena itu, sejatinya tidak ada persoalan jika PPN mempertegas tentang asal-usul seorang anak dalam berbagai formulir nikah/rujuk yang dikelolanya.

D. Kesimpulan
Setelah melakukan identifikasi dan analisis persoalan dalam tulisan ini, maka dapat dikemukakan beberapa kesimpulan sebagai berikut:


1. Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia terdapat beberapa kategori anak, yaitu: (1) anak kandung, (2) anak pengakuan/pengesahan, (3) anak angkat, dan (4) anak asuh.


2. Untuk menyingkronkan semua kategori anak tersebut dengan data-data nikah/rujuk, maka formulir-formulir nikah/rujuk yang ada selama ini harus diformat ulang.


3. Model N2 diformat ulang bahwa formulir itu hanya khusus digunakan untuk menerangkan tentang asal-usul seorang anak. Formulir ini secara spesifik hanya digunakan untuk anak dan orangtua kandung. Sedangkan, formulir Model N4 dipakai untuk menerangkan tentang orangtua. Model N4 ini pun bisa meliputi orangtua kandung, orangtua hasil pengakuan/pengesahan anak, dan orangtua angkat.


4. Istilah “bin” dan “binti” yang ada di semua formulir nikah/rujuk diganti dengan istilah “anak kandung/pengakuan/pengesahan/angkat” dengan pilihan coret yang tidak sesuai.


5. Penentuan wali nikah bagi calon pengantin perempuan didasarkan pada data Model N2 (Surat Keterangan tentang Asal-usul), bukan pada data Model N4 (Surat Keterangan tentang Orangtua).

DAFTAR KEPUSTAKAAN
Anwar, Syamsul. 2002. “Pengembangan Metode Penelitian Hukum Islam” dalam Ainurrofiq (ed.), Mazhab Jogja: Menggagas Paradisma Ushul Fiqh Kontemporer. Yogyakarta: Ar-ruzz Press.

Bzn, B. Ter Haar. 1976. Beginselen en Stelsel van het Adat Recht. terj. K. Ng. Soebekti Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita.

Harahap, M. Yahya. 1993. “Materi Kompilasi Hukum Islam” dalam Moh. Mahfud MD (ed.), Peradilan Agama dan Kompilasi Hukum Islam dalam Tata Hukum Indonesia. Yogyakarta: UII Press.

Muljatno. 1992. KUHP: Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Jakarta: Bumi Aksara.

Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/62/M.PAN/6/2005 tentang Jabatan Fungsional Penghulu dan Angka Kreditnya.

Soekanto, Soerjono. 1982. Sosiologi Hukum dalam Masyarakat. Jakarta: Rajawali.

Subekti. 1989. Pokok-pokok Hukum Perdata, cet. ke-22. Jakarta: PT Intermasa.

Usman, Sabian. 2009. Dasar-dasar Sosiologi Hukum: Makna Dialog antara Hukum dan Masyarakat. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Undang-undang Perlindungan Anak: UU RI No. 23 Th 2002. cet. ke-2. Jakarta: Sinar Grafika. 2005.
Zuhdi, H. Masjfuk. 1991. Masail Fiqhiyah: Kapita Selekta Hukum Islam. edisi ke-2, cet. 2. Jakarta: CV Haji Masagung.

0 comments:

Posting Komentar

 
Designed by: Newwpthemes.com | Bloggerized by Dhampire