Merapiku Telah Berubah

Oleh: Eko Mardiono
Sama sekali saya tidak menduga kalau muntahan material vulkanik dan awan panas Merapi tahun 2010 sampai ke sungai Gendol timur rumah saya.
 
Bahkan, jauh ke selatan, melewati Bronggang dan sampai ke Plumbon, Sindumartani, Ngemplak. Sedikit pun saya tidak membayangkan, korban jiwa justru banyak terjadi di sekitar daerah itu.


Pada hari itu Kamis, 04 Nopember 2010, sejak pagi keluarga saya sebetulnya sudah mengajak untuk mengungsi. Saat itu, Merapi memang selalu mengeluarkan awan panas yang membumbung tinggi. Tidak seperti erupsi pada tahun-tahun sebelumnya,
 
Merapi kali ini meletus eksplosif dan terjadi terus-menerus. Suara gemuruhnya terdengar begitu keras. Anak-anak saya pun mulai merengek, mengajak untuk segera mengungsi. Apalagi, orang-orang Utara mulai berbondong-bondong menuju ke arah selatan. Namun, saya tetap bertahan, tidak mengungsi.
 
Ada tiga hal yang bergejolak dalam pikiran saya saat itu. Pertama, saya berkeyakinan, awan panas tidak akan sampai ke tempat tinggal saya, sebagaimana yang telah terjadi selama ini. Kedua, saya ingin meyakinkan anak-anak, bahwa tempat tinggal mereka adalah aman. Ketiga, hidup di pengungsian tidaklah nyaman.
 
Terhadap sikapku ini, sang isteri pun mengingatkan saya. Bahwa, Mbah Rono, kepala Badan Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, sudah memperluas daerah rawan bencana, yaitu menjadi 15 km dari puncak Merapi. Padahal, tempat tinggal kami hanya berjarak 12 km dari puncak, 750 meter dari sungai Gendol, dan 350 m dari sungai Opak.

Hari pun semakin sore, gemuruh Merapi tidak kunjung reda, justru semakin hebat. Jalan-jalan mulai lengang. Kampung tampak sunyi. Astaghfirullah, kabut tebal malah datang menyelimuti. Hawa terasa sangat dingin. Pandangan mata pun menjadi sangat terbatas.
 
Praktis, saya dan keluarga tidak bisa lagi melihat ke puncak Merapi, sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi di sana. Anak-anak pun merengek lagi, mengajak untuk segera mengungsi. Tetapi, saya tetap bertahan dan ingin membuktikan bahwa tempat tinggal mereka adalah aman.

Namun, kenyataan berkata lain. Saat masuk waktu Magrib, gemuruh Merapi terjadi begitu dahsyat, sampai menggetarkan daun jendela, pintu, dan lampu-lampu. Bahkan, kami mengira telah terjadi gempa bumi. Pada saat yang bersamaan, HP saya juga bergetar. Ada SMS masuk. Ternyata, salah satu adik saya mengabarkan, luncuran awan panas ke arah sungai Gendol tidak terdeteksi. Gawat, haruskah kami mengungsi?
 
Akhirnya, dengan mengucap bismillah saya pun memutuskan untuk mengungsi. Saya berharap, semoga keputusan ini tidak menjadikan anak-anak trauma dan semoga kelak mereka tetap merasa aman bertempat tinggal di tanah kelahirannya.

Tatkala tertidur pulas akibat kelelahan yang amat sangat, pada Kamis malamnya saya pun dikejutkan deringan HP. Adik saya menelepon. Dia memberitahukan, Merapi meletus sangat besar, bahkan awan panasnya sampai ke Bronggang.
 
Saya setengah tidak percaya. Adik saya pun menyuruh saya untuk segera pindah ke daerah Kalasan. Menurutnya, tempat mengungsiku sekarang ini, yakni di Macanan, Bimomartani, NgemplaK, tidaklah aman. Tiba-tiba, suara HP-nya terputus. Berulang kali saya hubungi balik, tetapi tetap tidak bisa sambung.

Saya baru sadar, ternyata listrik pada malam itu sedang padam. Suasananya gelap gulita. Praktis, saya tidak bisa melihat berita TV untuk mengetahui perkembangan Merapi. Dari luar rumah, terdengar suara hujan pasir dan kerikil yang begitu deras.
 
Saya pun menghubungi HP saudara-saudara yang lain. Semuanya tidak ada yang mengangkat. Walau pada akhirnya ada satu saudara yang bisa saya hubungi. Tidak berbeda dengan adikku yang pertama, ia juga mengabarkan, Merapi meletus sangat dahsyat. Pengungsi di barak pengungsian Glagaharjo, Wukirsari, dan Argomulyo semuanya dievakuasi ke stadion Maguwoharjo.
 
Saya pun bertanya-tanya, kenapa harus ke stadion Maguwoharjo? Haruskah sejauh itu? Bukankah di Sindumartani dan Bimomartani, Ngemplak ada barak pengungsian? Ataukah memang betul, Merapi meletus begitu dahsyat sehingga dua barak yang saya sebut terakhir itu sudah tidak aman lagi? Kalau begitu, jelas tempat pengungsian saya beserta keluarga sekarang ini juga tidak aman.

Di tengah hujan pasir dan kerikil, saya pun keluar rumah, melihat jalan raya Cangkringan-Prambanan. Ternyata, jalannya penuh sesak, padat, bahkan macet. Tidak mungkin saya mengajak isteri dan anak-anak berpindah mengungsi dalam keadaan seperti itu.
 
Saya khawatir anak-anak menjadi tambah trauma dan shock. Saya bersama keluarga memutuskan untuk mengungsi semakin ke selatan, yakni ke wilayah Kalasan, besok pagi habis shalat Shubuh.

Akhirnya, setelah berpindah mengungsi ke Kalasan, pada Jumat pagi itu juga saya mencoba untuk masuk ke wilayah Cangkringan, namun tidak berhasil karena dihadang dan tidak diizinkan oleh aparat keamanan.
 
Baru Sabtu paginya, 06 Nopember 2010 sebelum terbit matahari, saya nekat menerobos pulang ke rumah. Astaghfirullah, ternyata sungai Gendol timur rumah saya sudah menjadi perbukitan pasir material vulkanik.
 
Saat kulihat ke puncak Merapi, gunung berapi teraktif di dunia itu pun masih tetap mengeluarkan material vulkanik yang membumbung tinggi.

Karakter Merapi telah berubah. Semoga kami dan anak-anak keturunan kami mampu hidup berdampingan dengan Merapi dengan segala manajeman resiko bencana dan potensi alamnya. Amiin...

Tulisan ini telah saya ikutkan
Lomba karya tulis Kisah Nyata Erupsi Merapi 2010
Kerjasama SKH Kedaulatan Rakyat dan BI
dan masuk 20 karya terbaik.

0 comments:

Posting Komentar

 
Designed by: Newwpthemes.com | Bloggerized by Dhampire