Oleh: Eko Mardiono
Tahun 2011 ini hari raya Idul Adha dilaksanakan serempak, 06 Nopember 2011. Tidak seperti Idul Fitri sebelumnya, ada yang merayakan Rabu, 31 Agustus 2011, ada yang sehari sebelumnya.
Namun demikian, tidak berarti umat Islam Indonesia telah mencapai kesepakatan, sehingga akan selalu sama untuk tahun-tahun berikutnya.
Posisi hilal (bulan sabit) lah yang menolong. Di seluruh wilayah Indonesia hilal sudah berada di atas ufuk antara 4-6 derajat. Sehingga, hilal sudah tampak/wujud.
Berbeda dengan awal
Ramadhan 1433/2012, 1434/2013, dan 1435/2014 serta awal Syawal 1435/2014, pada
tahun-tahun itu sangat dimungkinkan terjadi perbedaan.
Perlukah perbedaan ini disamakan? Sebagian orang bisa jadi berpendapat
perbedaan itu tidak perlu diseragamkan, karena terkait persoalan keyakinan
beribadah.
Namun sebenarnya penetapan awal bulan Hijriyah tidak hanya terkait dengan persoalan ibadah. Ia juga terkait dengan persoalan-persoalan muamalah (transaksi sosial).
Dalam perspektif ini, diperlukanlah kesepakatan semua pihak. Sangatlah naif bila kalender Hijriyah dikerdilkan hanya untuk kepentingan ibadah dan juga hanya untuk kalangan golongan tertentu.
Sebagaimana
kalender Masehi, kalender Hijriyah seharusnya juga tunggal. Hanya saja
persoalannya, bagaimana merumuskannya?
Secara dikotomis, di Indonesia ini ada dua metode besar penetapan awal bulan
Hijriyah, hisab dan rukyat. Lebih spesifik lagi, wujudul hilal dan rukyatul
hilal.
Ada tiga syarat wujudul hilal: (1) Telah terjadi ijtima’ (konjungsi), (2) Saat matahari terbenam, posisi bulan berada di atas ufuk, berapa pun ketinggiannya, dan (3) Berlaku wilayatul hukmi (artinya wujud di sebagian wilayah diberlakukan untuk seluruh wilayah hukum Indonesia).
Sedangkan rukyatul
hilal adalah pengamatan langsung, baik dengan mata telanjang maupun dengan
bantuan peralatan.
Secara sosiologis, metode wujudul hilal bisa jadi dinilai sangat ideal, tetapi
tidak dapat dijadikan sebagai metode tunggal di Indonesia, karena masih banyak
yang tidak menerimanya. Sebaliknya, metode rukyah bisa jadi dianggap sangat
riil, tetapi tidak sedikit pula yang menolaknya.
Tidak
tanggung-tanggung, kedua metode yang berseberangan itu diperankan masing-masing
oleh dua ormas Islam besar di Indonesia. Lantas, bagaimana solusinya?
Yang pasti, tidak mungkin menggunakan salah satu di antara keduanya.
Diperlukanlah metode alternatif. Ada satu metode alternatif, yaitu imkanur
rukyah (kemungkinan bisa dilihat), yang disebut juga visibilitas hilal (ketampakan
bulan sabit pertama).
Sebenarnya hisab dan rukyat tidak perlu dipertentangkan, karena keduanya saling melengkapi. Secara astronomis, hisab dan rukyat sebetulnya mudah dipersatukan dengan menggunakan kriteria visibilitas hilal atau imkanur rukyat.
Kriterianya pun didasarkan pada hasil rukyat (observasi) jangka panjang yang dihitung secara hisab, sehingga kedua metode hisab dan rukyat dapat terakomodasi.
Kriterianya
digunakan untuk menghindari rukyat yang meragukan dan digunakan untuk penentuan
awal bulan berdasarkan hisab. Dengan demikian diharapkan hasil hisab dan rukyat
akan selalu seragam.
Berdasarkan data kompilasi Kementerian Agama yang menjadi dasar penetapan awal
Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah, dapatlah ditetapkan kriteria visibilitas
hilal di Indonesia.
Yaitu: (1) Umur hilal harus >8 jam; (2) Jarak sudut bulan-matahari harus >5,6 derajat; (3) Beda tinggi >3 derajat dengan tinggi hilal >2 derajat untuk beda azimut ~ 6 derajat, tetapi bila beda azimutnya <6 derajat perlu beda tinggi yang lebih besar lagi.
Untuk beda azimut 0 derajat, beda tingginya harus >9 derajat. Kriteria ini dikenal dengan kriteria LAPAN yang memperbarui kriteria MABIMS yang selama ini dipakai dengan ketinggian minimal 2 derajat, tanpa memperhitungkan beda azimut.
Secara lebih
simpel, Thomas Djamaluddin (2011) menetapkan kriteria baru yang dikenal dengan
“Kriteria Hisab-Rukyat Indonesia”. Yaitu: Jarak sudut bulan-matahari >6,4
derajat; dan Beda tinggi bulan-matahari >4 derajat.
Walau metode visibilitas hilal ini didedikasikan sebagai titik temu antara
wujudul hilal dan rukyatul hilal, tetapi kenyataannya belum dapat diterima oleh
semua pihak.
PP Muhammadiyah sebagai penganut wujudul hilal bahkan memutuskan untuk tidak akan lagi mengikuti sidang itsbat, baik untuk penentuan Ramadan, Idul Fitri, maupun Idul Adha.
Muhammadiyah menilai sidang itsbat tidak begitu relevan dan tidak sejalan dengan prinsip negara yang seharusnya memayungi semua golongan (KR, 25/10/2011).
Muhammadiyah
ternayata memang tidak hadir pada sidang itsbat penentuan Idul Adha Jumat, 28
Oktober 2011 lalu. Memang Kementerian Agama dalam posisi yang dilematis. Satu
pihak sebagian masyarakat menghendaki harus dilakukan rukyah, sebagian yang
lain tidak demikian.
Kementerian Agama RI telah menyelenggarakan Lokakarya Mencari Kriteria Format
Awal Bulan di Indonesia” di Hotel USSU, Cisarua, Bogor, 19–21 September 2011.
Disepakatilah penggunaan dan kriteria imkanur rukyah (visibilitas hilal).
Dalam hal ini Pemerintah atau Kementerian Agama harus menerapkan metode visibilitas hilal secara konsekuen. Bukankah telah diperhitungkan bahwa hilal akan tampak atau tidak tampak?
Konkretnya, Pemerintah harus membuat, mencetak, dan mempublikasikan secara luas Kalender Standar Taqwin Hijriyah. Masyarakat luas supaya bisa memedomaninya. Dipersilakan saja masyarakat melakukan rukyah.
Toh, hasilnya nanti akan sama dengan Kalender Standar Taqwim. Masyarakat yang selama ini menggunakan kalender kriteria wujudul hilal juga mempunyai alternatif. Ternyata ada kalender Hijriyah lain yang juga memberikan kepastian penanggalan. Wallahu a’lam.
0 comments:
Posting Komentar