STABILISASI
KURS MATAUANG RUPIAH
Oleh: Eko Mardiono
Pertumbuhan
ekonomi Indonesia untuk sementara ini masih berada di atas angka 6 persen.
Namun, akibat krisis global, dalam beberapa bulan ke depan disinyalir ia akan
mengalami pertumbuhan yang cukup lamban.
Salah satu
indikatornya adalah merosotnya nilai tukar rupiah yang sudah jauh melampaui
angka psikologis sepuluh ribu rupiah. Hal ini menyebabkan nilai cadangan devisa
tergerus hingga 19 miliar dollar.
Memang, saat ini
inflasi mulai longgar, harga sembako mulai sedikit turun, tetapi nilai tukar
rupiah tetap terkoreksi sehingga cadangan devisa pun berkurang dari sebelumnya
69 menjadi 50 miliar dólar.
Sebenarnya
pemerintah bersama Bank Indonesia sudah melakukan beberapa langkah antisipatif.
Di antaranya
dengan menempatkan dana talangan di beberapa BUMN, memberikan dana jaminan
pengaman di sektor keuangan, memperluas penjaminan simpanan ke perbankan dengan
cara menjamin dana dua miliar pada setiap simpanan nasabah di bank, dan
melonggarkan aturan-aturan di perbankan dan pasar modal.
Termasuk juga,
mengatur pengelolaan transaksi valas guna mengurangi upaya spekulan
memanfaatkan isu-isu ekonomi (KR, 24 Nopember 2008).
Langkah-langkah
antisipatif Pemerintah dan Bank Indonesia tersebut sangat menarik apabila
disinergikan dengan beberapa solusi alternatif lain yang digagas oleh para
pakar ekonomi.
Di antaranya oleh
Prof. Dr. H. Suroso Imam Zadjuli, S.E. Guru besar fakultas ekonomi Universitas
Airlangga ini mengemukakan sebuah solusi yang diberi nama Indonesian
International Currency System (IICS).
Menurut solusi
ini, kurs rupiah dikembalikan pada sistem “mengambang terkendali”. Yaitu, untuk
US $ 1,- dibuat kurs bawah sebesar Rp. 10.000,- dan kurs atas sebesar Rp.
12.500,- (dengan perbedaan Rp. 2.500,- atau 25%).
Perbedaan ini
dibuat untuk memberikan fleksibilitas pada transaksi valuta asing. Apabila bank
atau money changer menjual dengan kurs di atas Rp. 12.500,-, maka ia akan
dikenakan pajak progresif yang harus disetor ke kas negara.
Pajak progresif
ini ditetapkan dengan ketentuan, kurs mulai dari Rp. 12.501,- hingga 15.000,-
per-US dolar dikenakan pajak 60,0% atau sebanyak Rp. 1.500,- dan kurs mulai
dari Rp. 15.001 ke atas per-US dólar dikenakan pajak 90,0%.
Jadi, jika valuta
asing US $ 1,- dijual dengan Rp. 20.000,- maka pajaknya adalah Rp. 6.000,-,
yaitu (60% x Rp. 2.500,-) + (90% x Rp. 5.000,-). Sebaliknya, transaksi valuta
asing yang kurang dari Rp. 10.000,- per- US $ 1,- tidak dikenakan pajak.
Dengan sistem
seperti ini, maka sebagian besar keuntungan spekulan akan beralih masuk ke kas
negara. Penerapan pajak progresif ini pun akan menjerakan spekulan valuta
asing.
Perolehan pajak
progresifnya juga bisa dipakai untuk membantu pengusaha menengah dan kecil dalam
meningkatkan ekspor dan usaha subsitusi impor.
Kurs “mengambang
terkendali” tersebut dapat dijalankan terus, atau setelah tiga sampai enam
bulan ketika dirasakan sudah mantap, dapat diterapkan CBS dengan menggunakan
kurs US $ 1,- sebesar Rp. 10.000,- atau Rp. 12.500,- sesuai dengan kebutuhan.
Hanya saja, CBS
ini setiap tiga bulan harus dievaluasi kemudian ditetapkan kembali. Setiap
tahun juga perlu dievaluasi apakah akan direvaluasi atau didevaluasi. Hanya
saja, hasil evaluasinya tidak sampai melebihi 10% pertahun dari kurs
sebelumnya.
Untuk pelaksanaan
kurs “mengambang terkendali”, dalam realisasinya dapat ditentukan beberapa
kebijakan. Yaitu, terhadap eksportir diberlakukan kurs batas atas sedang
terhadap importir diberlakukan kurs batas bawah.
Terhadap BUMN,
Badan Otorita maupun BUMD diberlakukan kurs tersendiri sesuai dengan kebutuhan,
namun masih tetap berada di antara batas atas dan bawah, dan terhadap
masyarakat atau para pengusaha swasta lain diberlakukan kurs “mengambang
terkendali” sesuai dengan kekuatan pasar dan senantiasa dikontrol dengan
pengenaan pajak progresif.
Langkah
selanjutnya untuk menstabilkan kurs matauang rupiah adalah dengan menerbitkan
Indonesian International Currency (IIC), yaitu matauang Republik Indonesia
dengan menggunakan keterangan atau tulisan bahasa Inggris pada lembar
matauangnya dengan nilai Rps. 10.000,- (ten thousand rupiahs) untuk tahun
pertama.
Matauang baru ini
hendaknya lebih kecil ukurannya, tetapi mempunyai nilai 10 kali lipat jika
ditukar dengan matauang Republik Indonesia yang menggunakan bahasa Indonesia.
Kedua matauang ini bisa beredar secara bersama, baik di dalam maupun di luar
negeri.
Jadi, apabila uang
Rp. 10.000,- yang menggunakan bahasa Indonesia ditukar hanya mendapatkan US $
1,-, maka Rps. 10.000,- uang IIC bisa mendapatkan nilai tukar US $ 10,-.
Setelah berjalan satu tahun, maka dikeluarkanlah IIC pecahan Rps. 5.000,- (five thousand rupiahs).
Setelah berjalan satu tahun, maka dikeluarkanlah IIC pecahan Rps. 5.000,- (five thousand rupiahs).
Pada tahun ketiga
dikeluarkan lagi IIC dengan pecahan yang lebih kecil. Kemudian pada tahun
kesepuluh, seluruh uang lama diganti dengan uang baru (IIC) dengan perbandingan
10 : 1.
Pada tahun
kesebelas IIC dapat tetap dipertahankan sebagaimana adanya, atau diganti dengan
lembaran matauang yang tulisannya menggunakan dua bahasa (Inggris dan
Indonesia), atau bahkan diganti sama sekali dengan lembaran matauang yang
menggunakan keterangan satu bahasa Indonesia saja.
Pelaksanaan
kebijakan ini dapat didukung dengan aturan tentang insentif pajak bunga
tabungan/deposito. Yakni, tabungan harian dan berjangka yang menggunakan uang
lama dikenakan beban pajak bunga 15,0%.
Tabungan harian
dan berjangka yang menggunakan uang baru dibebaskan dari beban pajak bunga.
Tabungan harian dan berjangka untuk dua matauang hanya dikenakan pajak bunga
7,5%.
Dengan kebijakan
ini, diharapkan masyarakat akan lebih banyak yang menggunakan uang baru.
Akhirnya, semua tahapan tersebut bisa menghasilkan kurs US $ 1,- sama dengan
Rp. 1.000,-.
Inilah revaluasi
gaya baru untuk Indonesia tanpa berdampak serius dalam masyarakat.
Kaki
Gunung Merapi,
25 Nopember
2008
0 comments:
Posting Komentar