Tahun 2009 ini oleh Pemerintah dicanangkan sebagai Tahun Ekonomi Kreatif. Pencanangan ini dilakukan dalam rangka menghadapi resesi ekonomi global. Semua potensi bangsa pun dicoba untuk diberdayakan secara maksimal, termasuk potensi zakat.
Menurut BAZNAS,
potensi zakat di Indonesia sebesar 19 triliun Rupiah. Menteri Agama, Maftuh M.
Basyuni, dalam rapat Panitia Ad Hoc Dewan Perwakilan Daerah pada Selasa, 24
Februari 2009, memberikan beberapa catatan penting tentang pemberdayaan zakat
di Indonesia.
Menurutnya,
walaupun Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah
berumur 9 tahun tetapi belum terberdayakan secara optimal.
Oleh karena itu, demikian Basyuni, Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat perlu direvisi. Ada beberapa hal yang perlu diupayakan untuk dimasukkan dalam undang-undang yang baru.
Pertama,
umat Islam yang sudah mampu mengeluarkan zakat (muzakki) akan dikenai sanksi bila
ia tidak menunaikannya.
Kedua,
Badan Amil Zakat (BAZ) akan dijadikan sebagai satu-satunya lembaga pengelola
zakat dari tingkat nasional sampai tingkat desa/kelurahan.
Ketiga,
akan diimplementasikan sebuah ketentuan bahwa pengeluaran zakat dikurangkan terhadap
beban kewajiban pajak, demikian Maftuh M. Basyuni.
Persoalannya
sekarang adalah bagaimana potensi zakat di Indonesia ke depan diformulasikan
agar dapat diterima oleh semua kalangan?
Jika dicermati, sebenarnya Undang-undang Nomor 38 Tahun 1999 dalam memberdayakan potensi zakat lebih menekankan pada aspek profesionalitas, kredibilitas, dan akuntabilitas pengelola zakat daripada memberikan sanksi bagi muzakki yang tidak menunaikan kewajibannya.
Dengan model
pendekatan ini, diharapkan para muzakki akan menjadi berbondong-bondong untuk
menyalurkan zakatnya. Hal ini karena tidak semua muzakki yang enggan
mengeluarkan zakat disebabkan oleh ketidaksadaran tentang ajaran agamanya.
Banyak di antara
mereka yang telah mengamalkannya. Hanya saja, mereka lebih memilih lembaga atau
caranya sendiri yang mereka yakini bisa menjadikan zakatnya sampai pada
sasarannya.
Oleh sebab itu, kalaupun dalam revisi Undang-undang tentang Zakat ini diusulkan agar para muzakki yang enggan mengeluarkan zakatnya diberi sanksi, maka persoalannya yang paling krusial adalah bagaimana pihak pemerintah mampu menyakinkan publik bahwa dana zakat mereka akan dikelola secara amanah dan profesional.
Pencitraan dan
pembuktian oleh Pemerintah ini menjadi semakin signifikan setelah dalam
Undang-undang yang baru juga diusulkan agar BAZ dijadikan sebagai satu-satunya
pengelola zakat.
Padahal, realita
menunjukkan bahwa Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dikelola oleh swasta lebih
diminati para muzakki daripada BAZ. LAZ dinilai lebih kreatif, inovatif, dan
profesional.
Sebaliknya, masih
diingat oleh bangsa ini, ada beberapa Surat Keputusan Bupati (BAZDA) tentang
pembayaran zakat profesi di daerah yang didemo oleh para muzakkinya. Melihat
realita sosial ini, eksistensi LAZ yang telah tumbuh dan berkembang subur di
masyarakat tentu perlu tetap diakomodir.
Yang justru
mendesak untuk ditegaskan adalah siapa yang menjadi regulator dan operator.
Sehingga, BAZ dan LAZ dapat berjalan sinergis.
Issu mengenai pengeluaran zakat dikurangkan terhadap beban kewajiban pajak adalah sesuatu yang sangat positif. Memang di kalangan pakar hukum Islam terjadi diskusi yang panjang, apakah seorang muslim akan dikenai beban salah satu dari zakat dan pajak atau keduanya.
Dalam catatan
Qardawi, beberapa ulama mendukung pengintegrasian zakat-pajak, tetapi baru pada
batas idealita. Imam Nawawi dari mazhab Syafi’i, Imam Ahmad, dan Ibnu Taimiyah
berpendapat bahwa membayar pajak dengan niat zakat dibolehkan, dan karenanya
kaum Muslim cukup membayar pajak.
Sementara itu, Ibn
Hajar al-Haysyami dari mazhab Syafi’i, Ibn Abidin dari mazhab Hanafi, dan Syekh
Ulaith dari mazhab Maliki berpendapat sebaliknya, dan karenanya pembayaran
pajak tidak menggugurkan kewajiban zakat.
Upaya pengintegrasian zakat dan pajak yang komprehensif pernah dilakukan oleh Masdar Farid Mas’udi. Masdar dalam bukunya Agama Keadilan, Risalah Zakat (pajak) dalam Islam mengajukan tesis penyatuan keduanya untuk mewujudkan cita agama kerakyatan.
Ia menawarkan
kerangka filosofis dan epistemologis yang dapat diimplementasikan secara lebih
konkret dalam kebijakan fiskal. Tidak perlu dikhawatirkan kebijakan
pengintegrasian keduanya akan mengakibatkan penurunan pendapatan negara dari
sektor pajak.
Kebijakan fiskal
ini justru bisa meningkatkan kesadaran masyarakat dalam membayar pajak.
Kesadaran membayar zakat yang dilandasi motivasi ajaran agama dengan sendirinya
akan memacu kesadaran membayar pajak. Zakat tertunaikan, pajak terbayarkan, dan
masyarakat pun tidak terkenai beban ganda.
Dalam proses revisi Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat, memperhatikan dinamika sosial keagamaan masyarakat sangatlah urgen. Undang-undang tentang Zakat yang baru akan menjadi responsif apabila proses pembuatannya bersifat partisipatif dan aspiratif.
Dinilai
partisipasif jika ia mengundang sebanyak-banyaknya partisipasi masyarakat
melalui kelompok-kelompok sosial dan individu di dalam masyarakat.
Dinyatakan
aspiratif bila ia memuat materi-materi yang secara umum sesuai dengan aspirasi
atau kehendak masyarakat yang dilayaninya, sehingga produk hukumnya dapat
dipandang sebagai kristalisasi dari kehendak masyarakat.
Berbeda dengan
Undang-undang yang konservatif, ia bersifat sentralistik, dalam arti ia lebih
didominasi oleh lembaga negara, terutama pemegang kekuasaan eksekutif.
Selain itu, ia
juga bersifat positivis-instrumentalis, artinya ia memuat materi yang lebih
merefleksikan visi sosial dan politik pemegang kekuasaan atau memuat materi
yang lebih merupakan alat untuk mewujudkan kehendak dan kepentingan program
pemerintah.
Lantas, bagaimana
nanti hasil revisi Undang-undang tentang Pengelolaan Zakat yang sekarang sedang
digodog di lembaga legislatif, apakah ia bersifat responsif atau konservatif?
Semuanya
akan berpulang kepada para legislator dan pembuat kebijakan. Yang pasti, zakat
merupakan salah satu multiplier ekonomi bangsa yang sangat potensial. Ia bisa
dijadikan sebagai salah satu solusi dalam menghadapi resesi ekonomi global.
0 comments:
Posting Komentar